Selama gelaran Konferensi Asia Afrika (KAA), Indonesia aktif melobi negara sahabat agar mendukung pencalonan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk periode 2019-2020.
Pada Rabu (29/4/2015), Pemerintah Indonesia baru saja mengeksekusi delapan terpidana mati kasus narkoba. Hal ini membuat usaha Indonesia untuk menjadi anggota DK-PBB sulit. Pasalnya, PBB merupakan salah satu pihak yang menentang Indonesia dalam melakukan eksekusi mati terhadap pelaku narkoba.
Sebab, dari sanalah muncul keputusan menghentikan perang dan pengiriman pasukan perdamaian ke wilayah konflik. Swedia, Nigeria, dan Nepal sejauh ini secara terbuka mendukung niatan pemerintah tersebut. Adapun Setara Institute meramalkan agenda pemerintahan Jokowi itu tidak akan mulus, karena masih melaksanakan hukuman mati.
Ketua Badan Pengurus Setara, Hendardi, menyatakan hukuman mati, yang mayoritas warga asing, merupakan pelanggaran dokumen ICCR yang diratifikasi pemerintah pada 2005. Persepsi RI di PBB pun sudah jelek ketika Komite HAM menetapkan nilai penegakan hak asasi di Tanah Air hanya di kisaran E.
Sementara itu, Rafendi Djamin, direktur eksekutif lembaga Human Rights Working Group, berpendapat Indonesia sulit menjadi panutan dalam hubungan Selatan-Selatan yang dicanangkan dalam KAA di Jakarta dan Bandung. Dia memberi contoh bahwa di Afrika telah muncul penyusunan protokol penghapusan hukuman mati.
Pelaksanaan eksekusi dalam waktu dekat, menurut Rafendi, juga akan menyulitkan Indonesia dalam melakoni diplomasi dan advokasi demi membela WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri.
ConversionConversion EmoticonEmoticon